Jumat, 02 Oktober 2009

Rumah Tradisional Tahan Gempa

Gempa nampaknya tidak akan meninggalkan kehidupan kita dalam waktu dekat, untaian kejadian gempa bumi skala besar terus melanda negeri mulai dari gempa Papua, Aceh - Nias, Jogja, Pangandaran, Tasik kemudian disusul gempa Padang dan Jambi yang saat ini korban masih dihitung.

Dalam kurun waktu hanya 100 tahun, US Geological Survey (USGS) mencatat ada 43 gempa besar terjadi di Indonesia dengan kekuatan antara 6,5 sampai 9,1 SR. Korban jiwa yang diakibatkan oleh gempa-gempa besar ini mencapai hampir 250.000 jiwa. Tentu, kita masih tak bisa melupakan gempa 9,1 SR disusul mega tsunami di Sumatera dan Kepulauan Andaman (Tsunami Aceh) di penghujung 2004. Korban jiwa ketika itu mencapai 228.000 jiwa.





Saya sendiri sangat trenyuh ketika melihat berita-berita yang menanyangkan betapa masif kehancuran baik infrastruktur dan terutama korban jiwa yang terjadi di Kota Andalas tersebut, saya sendiri belum pernah ke kota Padang, tapi saya sangat hapal betapa konstruksi Rumah Gadang ini kerap terlihat di rumah makan Padang yang tersebar dimana pun di kota - kota Indonesia, bahkan di Kota Garut sebuah resort dibangun dengan model rumah gadang ini.





Secara awan saya merasa walaupun rumah gadang ini sangat estetis dan indah, namun kemajuan zaman telah membawa bangunan - bangunan yang boleh kita sebut "sabuk gempa Indonesia" sama sekali tidak ramah gempa, rumah gadang pun tak luput dari perkembangan zaman. Pada zaman dulu, rumah gadang berasal dari desain para pelaut yang hanya bisa membuat kapal sehingga rumah - rumah di Sumatera Barat mirip dengan kapal. Namun dalam pandangan awam saya, apabila rumah Gadang ini yang tadinya dibangun menggunakan bahan kayu dan zaman sekarang diakulturasikan dengan modernisasi yakni mengganti penggunaan kayu dengan beton, saya tidak bisa memperkirakan betapa berat beban yang diberikan atap rumah gadang yang menjulang tersebut terhadap pondasi dasar rumah, entahlah... kita harus berbicara dengan ahli konstruksi soal ini.

Yang pasti, saya sering membaca mengenai kelebihan dari rumah - rumah kayu atau bambu yang lebih lentur terhadap gempa. Salah satu contohnya yaitu rumah - rumah kayu yang terdapat di Tasikmalaya tidak rubuh, bahkan saya membaca dalam sebuah artikel bahwa rumah panggung yang bertiangkan kayu dan berdindingkan bilik di Tasikmalaya tetap kokoh berdiri setelah diguncang gempa 7,3 SR. Seorang ibu, bahkan dengan santainya melakukan aktivitas hariannya membersihkan rumah. Sang ibu mengaku dirinya tidak khawatir akan kondisi rumahnya paska gempa. Ketika orang lain mengungsi ke tenda-tenda darurat, dirinya dan keluarga masih bisa tidur dengan nyaman dan aman di rumah.



(Beton VS Kayu: Rumah kayu bertembok anyaman bambu nampak kokoh dibanding rumah beton di sebelahnya yang ambruk)

Nah, berhubung saya benar - benar awam mengenai  bagaimana membangun sebuah rumah yang ramah terhada gempa, alhamdulillah saya telah menemukkan beberapa artikel yang kiranya dapat kita promosikan kepada seluruh saudara, teman, sahabat dan semua orang yang kita temui yang tinggal di daerah rawan gempa untuk "back to basic" yaitu kembali ke ajaran leluhur kita dimana tiap - tiap daerah memiliki rumah adat yang hampir semuanya tahan gempa. benarkan itu

Dalam sebuah artikel tentang penelitian rumah adat tradisional yang tahan gempa, saya mengutip tulisan yang sangat bermanfaat dari Dosen Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar (Untuk artikel asli, silahkan klik disini) dimana penulisnya ketika membaca berita gempa Manokwari, mencoba meng-explore rumah-rumah tradisional kita sebagai sebuah hasil dari kearifan lokal. Secara empirik, rumah-rumah warisan nenek moyang inilah yang mampu bertahan ratusan tahun dari guncangan gempa.

Orang-orang mungkin belum bisa menghitung kekuatan gempa ketika itu. Rumah tradisional menarik untuk dikaji, karena secara faktual sudah banyak masyarakat meninggalkan model hunian ini. Kita telah melihat sendiri, bahwa sangat sulit menemukkan rumah - rumah tradisional ini. Yulius Prihatmaji dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur (2007) mencoba menjawabnya mengenai ketahanan rumah tradisional inisecara eksperimental. Dengan mengambil sampel rumah Jawa (Joglo), Prihatmaji melakukan pengujian model struktur di atas meja getaran. Perlu diketahui bahwa rumah Joglo merupakan bentuk hunian tradisonal yang tersebar di Jawa, dari Cirebon hingga Banyuwangi. Daerah-daerah ini merupakan daerah aktif gempa dengan kategori gempa III.




Tahan Gempa
Prihatmaji menemukan bahwa ada tiga alasan mengapa rumah Joglo lebih tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core frame) yang terdiri umpak, sokoguru, dan tumpang sari, dapat menahan beban lateral yang bergerak horizontal ketika terjadi gempa. Inilah kunci utama mengapa rumah Joglo masih dapat berdiri ketika gempa Yogyakarta pada Mei 2006, di saat rumah atau gedung lain mengalami keruntuhan.

Alasan kedua, adalah bahwa struktur rumah Joglo yang berbahan kayu menghasilkan kemampuan meredam getaran/guncangan yang efektif, lebih fleksibel, dan juga stabil. Struktur dari kayu inilah yang berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa.

Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan rol, sambungan kayu yang memakai sistem sambungan lidah alur, dan konfigurasi kolom anak (soko-soko emper) terhadap kolom-kolom induk (soko-soko guru) merupakan earthquake responsive building dari rumah Joglo. Oleh karenanya, dengan sistem ini, rumah Joglo lebih stabil pada frekuensi gempa tinggi dengan akselerasi rendah-tinggi. Sedangkan pada frekuensi gempa rendah, rumah Joglo lebih fleksibel. Hanya saja, Prihatmaji mengungkapkan rumah Joglo hanya tahan pada daerah gempa III. Lebih dari itu, rumah jenis ini memerlukan beberapa modifikasi.

Selain rumah Joglo, rumah tradisional Nias juga termasuk dikategorikan rumah tahan gempa. peristiwa gempa berkekuatan 8,6 SR pada Maret 2005 lalu telah membuktikan itu. Menurut Koen Meyers dan Puteri Watson dalam "Legend, Ritual and Architecture on the Ring of Fire" (2008), fleksibilitas rumah Nias yang membuatnya lebih tahan terhadap gempa. Hal ini dikarenakan ikatan antara balok kayu saling mengunci tanpa dipaku.

Selain itu, secara struktur, rangka rumah Nias terdiri dari kolom (enomo) dan balok (ndriwa). Kolom-kolom bertumpu di atas batu besar sebagai penguat untuk menghadang terpaan angin. Diantara kolom utama, terdapat kolom-kolom diagonal yang saling kait mengait menyokong lantai rumah yang berbentuk oval atau persegi. Kolom inilah yang berfungsi sebagai lateral dan longitudinal bracing. Teknik pasak pada sambungan kayu membuat balok-balok kayu tidak patah ketika terjadi gempa.

Menurut Meyers dan Watson, kolom diagonal inilah yang menjadi kunci mengapa rumah Nias bisa elastis dan stabil dari guncangan gempa. Kesimpulan yang sama juga diungkapkan oleh Jacques Dumarcay dalam The House in South-East Asia, dan Evawani Eliisa-peneliti rumah Nias di tahun 2000.

Hingga sekarang, rumah Nias masih bisa dijumpai di Bawomataluo, Hilisimaetano, Sihare'o Siwahili, dan Como.

Bergerak Elastis
Hampir semua rumah tradisional di Indonesia tahan terhadap gempa. Menurut Marco Kusumawijaya, arsitek dan pengamat tata kota (Sinar Harapan, Nopember 2008), hampir semua rumah tradisional fleksibel dan stabil terhadap gempa. Hal ini dikarenakan struktur kayu yang ada pada rumah tradisional tidak sekaku dengan struktur beton. Jika mengalami getaran atau gempa, ikatan antara balok dan kolom pada rumah tradisional mampu bergerak elastis.

Berayun mengikuti guncangan gempa tanpa mengalami kerusakan. Marco memberi contoh rumah Bali dan Minahasa. Perlu diketahui, rumah Minahasa adalah rumah tradisional yang didiami mereka yang bertempat tinggal di Sulawesi Utara, daerah yang paling sering mengalami gempa (kategori I).

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh pendiri Assosiasi Ahli Gempa Indonesia, Teddy Boen. Ketika melakukan survei gempa ke Nabire Papua pada tahun 2004, Boen menemukan bahwa dari 45 persen rumah yang rusak, semuanya adalah rumah konvensional yang terbuat dari struktur bata. Namun, yang masih bertahan adalah rumah tradisional dari kayu. Hal yang sama juga ditemui, ketika Boen berkunjung ke Alor Nusa Tenggara Timur, rumah tradisionallah yang dapat bertahan terhadap gempa.

Budi Brahmatyo, ahli Geologi dari ITB Bandung, juga menemukan fenomena serupa. Ketika berkunjung ke Sungaipenuh Kerinci pada tahun 1999. Rumah-rumah tradisional di daerah tersebut masih dapat berdiri tegak pada peristiwa gempa. Konstruksi rumah tradisional di sepanjang Bukit Barisan memang didesain untuk tahan terhadap gempa.

Tiang-tiang rumah dihubungkan dengan palang-palang yang dapat berputar bebas seperti engsel pada jarak tertentu. Jadi ketika terjadi gempa, rumah ini dapat ikut bergoyang elastis tanpa harus runtuh. Demikian pula, di tahun 2005, Brahmatyo menemukan rumah panggung di daerah Pacet Bandung Selatan tetap saja berdiri, padahal rumah-rumah berdinding bata di sekitarnya sudah banyak yang runtuh.

Kearifan Tradisional
Dari sekian banyak paparan di atas, secara empirik dan eksperimental, rumah tradisional Indonesia secara umum bisa dikatakan tahan terhadap gempa. Mungkin kita masih menunggu hasil-hasil riset dari ahli struktur terhadap rumah tradisional yang lain. Khususnya mengenai ketahanan gempa dari rumah tradisional di Sulawesi Selatan seperti rumah adat Bugis-Makassar, rumah Tongkonan Tana Toraja, dan rumah adat Mandar.

Sebenarnya sudah cukup banyak model rumah tahan gempa didesain pascagempa dan tsunami Aceh. Seperti model Smart Modula dan Risha. Akan tetapi, rumah tradisional nusantara menjadi alternatif yang sangat memungkinkan untuk dimasyarakatkan kembali. Terutama bagi mereka yang berdiam di daerah-daerah rawan gempa. Sudah saatnya kita kembali ke rumah tradisional, warisan nenek moyang kita.

Namun keinginan masyarakat untuk membangun rumah tradisional sudah semakin menurun. Hal ini banyak disebabkan oleh biaya konstruksi rumah yang sebagian besar dari bahan kayu relatif mahal terhadap konstruksi konvensional batu bata. Selain itu, daya tahan kayu terhadap pelapukan, rayap dan api masih rendah.

Masih perlu pengembangan teknologi untuk dapat mengolah kayu agar lebih tahan lama. Faktor lain yang nampaknya menjadi faktor utama adalah, pandangan masyakarakat yang menganggap rumah tradisional adalah bagi mereka yang berstatus sosial rendah, dan terbelakang.

F. Rahardi, seorang penyair dan budayawan mengatakan kini rumah tradisional yang tangguh terhadap alam sudah tergilas oleh rumah modern. Ini diibaratkan oleh kearifan tradisional yang berkonotasi miskin dan bodoh, terkalahkan oleh kultur modern yang tanggung. Alangkah naifnya.


Nah demikianlah tulisan yang disajikan oleh Dosen Teknik Sipil Unhas tersebut, saya Insya Allah akan terus mencari informasi kepada ahlinya baik melalui dunia maya maupun bertanya langsung mengenai konstruksi rumah tradisional ini yang bisa kita kampanyekan kepada masyarakat bahwa banyak orang termasuk saya tinggal di daerah rawan gempa.


(Tulisan ini dibuat untuk mengenang korba gempa di tanah air terutama di Bumi Andalas Sumatera Utara yang saat ini luluh lantak akibat gempa 7,6 SR disusul gempa Jambi 7,0 SR. Semoga korban meninggal di berikan tempat terbaik di sisi Allah SWT, korban luka secepatnya diberikan kesehatan dan korban selamat diberikan ketabahan. Saya juga bangga, sangat berterimakasih dan kagum dengan TNI, Polisi, tim SAR, Dokter juga relawan yang terus melakukan evakuasi dan penyelamatan yang tidak kenal lelah bahkan lupa makan dan minum demi mencari korban selamat diantara puing reruntuhan beton yang sangat berat, kalianlah pahlawan bangsa yang patut kami banggakan dan pelindung sejati bumi pertiwi, semoga Allah SWT memberikan kalian balasan berlipat - lipat baik di dunia maupun di akhirat atas apa yang kalian lakukan)

Source:
http://web.civileng-unhas.info/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=35

Kredit Gambar
  • Rumah Gadang : sumbarprov.go.id
  • Kayu VS beton : http://coretankelambu.wordpress.com/2009/09/ 
  • Rumah Joglo Jawa Tengah : http://jepretanku.wordpress.com/2008/03/page/2/

0 komen:

Posting Komentar

Komentar boleh bebas namun sopan..