Sabtu, 04 April 2015

Wirausaha versus Abdi Negara Part II

Ga bisa tidur euy, reungitnya sararadis...
Hari ini naek angkot Bogor kesasar untuk yang kesekian kalinya.. beruntung saya menghapal peta, tidak beruntungnya hape ini gpsnya susah nge-lock, pengen ganti hape tapi saya takut kalau ambil uang tabungan.
Badan saya mulai beradaptasi dengan hawa panas Bogor. Ahhh begini repotnya orang gunung, di Garut sih cuaca amat jarang tembus 28°C... malam sekitar 17-20°C siang 25-27°C Bogor mah parah, termometer saya sering 30°C... malam aja 27°C hadeuuuh panas ahhhh... di suasana panas begini saya kembali berfikir tentang takdir yang Alloh berikan kepada saya...
Ga pernah saya sangka sih kalau impian saya menjadi PNS bisa "menghilang". Tingkat minat saya menjadi PNS turun drastis. Selama saya menjadi honorer, berbagai kerumitan administrasi membuat saya sering kehilangan kesabaran. Tabiatnya adalah ketika kita harus mengumpulkan banyak berkas yang terkadang kita tidak tahu untuk apa dengan jangka waktu yang tidak sebentar. Lebih parah lagi ketika kita harus mengumpulkan berkas, kemudian ada yang kurang dan harus bolak-balik, atau berkas yang harus ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang dan ga jelas siapa yang berwenang disana.
Menjadi honorer juga sering di-PHP-in jadi PNS otomatis, ini menurut saya penyakit masa lalu yang masih menular sampai saat ini. Sebagian besar teman saya terkunci harapannya untuk diangkat menjadi PNS setelah menjadi honorer dalam jangka waktu tertentu. Saya juga sempat berharap demikian....
Namun, setelah saya berumur 25 tahun, saya berusaha mencari jalan diluar itu... saya mulai muak dengan berbagai referensi bahwa menjadi PNS lebih baik penghasilannya... saya ingin berwirausaha daripada harus menunggu...
Ingin berwirausaha bukan berarti saya ingin berhenti bekerja sebagai pendidik. Menjadi Guru "memaksa" saya untuk memperbaiki diri mendekati idealnya manusia yang sempurna. Sulit memang namun itulah salah satu kehebatan menjadi pendidik. Saya sempat bertanya didalam hati. Apakah saya siap meninggalkan kenikmatan menjadi Guru? Ketika siswa berhamburan mencium tangan, ketika mereka memberikana kartu berisi ucapan kesedihan karena tahun depan harus naik kelas dan diisi oleh guru baru. Ketika mereka memahami hukuman sebagai bentuk kasih sayang dari saya untuk mereka. Keberhasilan seorang guru tidak selalu nilai 100. Saya malah merasa risih ketika seseorang mengagungkan nilai 100.
Ada seorang anak yang terbilang nakal dan saya sempat merasa benci ketika saya harus menjadi gurunya. Namun, ternyata saya salah....
Saya bukanlah seorang guru yang sabar, saya terbilang temperamental. Namun ketika marah saya tidak pernah menggunakan fisik untuk menghukum, tidak saya pungkiri saya terkadang menjewer dan mencubit namun dalam suasana yang memang lebih kedalam "adu nyali dalam permainan". Tidak ada rasa tegang disana, siswa pun biasanya berusaha memperbaiki diri. Saya selalu mencoba memperhatikan detail dari siswa, jika sakit saya coba perhatikan baik-baik, saya sering pula menghadapi siswa yang bermasalah dan saya terkadang mengajaknya berbicara secara pribadi.
Anak ini sangat nakal, hingga guru sebelumnya memperingatkan saya bahwa dia akan merusak suasana kelas. Saya sering menghardiknya tanpa sebab. Disini saya amat terkejut akan kesalahan yang saya perbuat, ternyata anak itu memang nakal namun dalam batas yang wajar. Sering sih buat nangis anak perempuan, tapi perempuannya juga suka mengganggu dia. Hingga dia nampak berusaha untuk menunjukkan dirinya bahwa "saya tidak seperti yang guru lain bilang". Hingga saya memberikan "guideline" nakal yang wajar. Mengapa? Karena sifat anak memang seperti itu kan, mengeksplore setiap perilaku dan mencari tahu reaksi orang. Meniru perilaku dan memfilter mana yang nyaman untuk mereka. Jika orang tua memberikan arahan yang tepat, tidak ada masalah. Jika orang tua kurang berperan, Guru serinh harus menjadi orang tua mereka. Bagi saya, nakal seperti mengobrol setelah mengerjakan tugas adalah salahnya guru. Karena jika waktu luang dipakai anak untum diam duduk manis artinya anak tersebut kurang aktif. Anak juga sering bermain-main dan mengganggu dalam konteks bercanda. Saya sering menghentikan perilaku dia yang diluar batas dan dia pun memahaminya. Pernah suatu ketika, saya menemukan anak-anak perempuan pada menangis, saya langsung meminta siapa yang bertanggung jawab untuk kedepan. Semua diam...
Hingga saya berkata "Laki-laki sejati tidak pernah lari dari tanggung jawab. Memilih menjadi laki-laki payah walaupun Bapak tahu siapa yang menganggu mereka, atau siap menjalani hukuman didepan atas perbuatan kalian?"
Anak itu yang pertama kedepan, disusul "komplotannya"
"Ada perbedaan antara bercanda dan nakal anak-anak. Bercanda dibatasi dengan tidak adanya sikap keberatan dari orang yang kita candain seperti nangis atau marah. Bercanda yang kelewatan membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang kasar dan pengejek. Manusia tidak akan pernah hidup tanpa manusia lain. Manusia selalu butuh teman dan saudara yang siap membantu kita. Pengejek hanya akan berteman dengan pengejek lainnya yang siap mengkhianati kita karena memang sifat buruk seorang pengejek senang menebar kesalahan dan kekurangan orang lain. Apa yang terjadi jika orang yang kita ejek dimasa depan menjadi pimpinan kerja kita?"
----------------------
saya selalu merasakan kepuasan tingkat tertinggi ketika anak mau berubah berdasarkan saran yang saya berikan kepada mereka. Entahlah, saya terlalu mencintai pekerjaan ini namun saya butuh penghasilan untuk masa depan yang mana tidak mungkin saya bergantung pada honorarium sebagai pengajar sukarelawan.
-----------
part III nanti akan saya tuliskan, bagaimana tiba-tiba mindset saya berubah mengenai wirausaha dan takdir Alloh bagi saya.
Bogor, 4 April 2015
Pukul 01.00, ga bisa tidur banyak nyamuukkk... pokoknya aranoyying ieu reungit euy!

0 komen:

Posting Komentar

Komentar boleh bebas namun sopan..